Memahami Shalat Tahajud
Shalat Tahajud
“Dan
dari sebagian malam hendaklah engkau bangun (tahajud), sebagai amalan tambahan
untukmu. Semoga Tuhanmu mengangkat (derajatmu) ke tempat terpuji.” Surah
Al-Isra’[17] ayat 79.
Dalam Tafsir Al-Mishbah
disebutkan, kata tahajjud atau tahajjada terambil dari kata hujuud yang berarti tidur. Kata ini
dipahami Al-Biqa’i dalam arti meninggalkan tidur untuk mendirikan sholat.
Penafsiran tahajud dalam
makna tidak tidur malam telah lama dikenal dalam tata bahasa Arab, dimana kata
tersebut memiliki dua makna yang berlawanan. Makna pertama tidak tidur malam
dan yang kedua tidur di malam hari. Imam Al-Jauhari mengatakan perbedaan makna
tersebut terletak dari akar katanya. Apabila dikatakan hajjada, maka berarti tidur. Sedangkan apabila dikatakan tahajjada berarti berjaga. Dari pendapat
kedua inilah, hampir seluruh pakar linguitik Al-Qur’an berpendapat bahwa bentuk
dasar kata tahajud adalah hujud yang berarti tidur. Kalimat tahajjadtu berarti saya telah membuang jauh perasaan ingin
tidur dari diri saya.
Imam At-Thabari juga
memberikan pendapat tentang makna tahjud ini, yaitu berjaga setelah tidur
terlebih dahulu. Sambil mengutip beberapa pendapat ulama salaf, pakar tafsir
ini mengutip pendapat Ibnu Faris dan Al-Kurra’ yang mengatakan al-mutahajjid adalah orang yang shalat
malam secara khusus setelah diawali tidur. Demikian keterangan yang didapat
dari Fathul Bari karangan Ibnu Hajar
Al-Asqalani. Dari beberapa pemaknaan ini turunlah penjaelasan imam-imam fiqih
tentang tata cara dan waktu pelaksanaan shalat tahajud.
Apakah shalat tahajud
dilaksanakan sesudah tidur? Jika ikhwah
memahami kata tahajud dalam pengertian bangun
sesudah tidur, maka shalat yang
dimaksud baru memenuhi syarat jika dilaksanakan setelah tidur. Dalam konteks
ini, Al-Qurthubi menyebut satu riwayatyang menyatakan bahwa sahabat Nabi Saw.,
Al-Hajjaj bin ‘Umar berkata, “Apakah kalian mengira bila melaksanakan shalat
sepanjang malam kalian dipandang telah tahajud? Sungguh, tahajud adalah shalat
sesudah tidur. Demikianlah shalat Rasulullah Saw.”
Jika ikhwah memahaminya
dalamarti shalat lail, maka shalat
tahajud dapa dilaksanakan walau sebelum tidur. Dalam konteks ini kita dapat
persamakan perintah shalat tahajjud dengan perintah-Nya pada awal surah
Al-Muzammil ayat 6 yang juga berbicara tentang shalat malam. Dalam ayat ini
Allah Swt. Memerintahkan Rasulullah Saw. Untuk melaksanakan shalat malam sambil
menjelaskan bahwa nasyi’at al-lail
(bangun di waktu malam) adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu
itu lebih berkesan.
Imam Al-Qurthubi lebih
lanjut mengemukakan bahwa ‘Ali bin Al-Husain (cicit Nabi Muhammad Saw)
melaksanakan shalat antara magrib dan isya kemudian menjelaskan bahwa inilah “nasyi’at al-lail.” Sementara istri
Rasulullah Saw. Dalam salah satu riwayatIbn ‘Abbas menyatakan bahwa nasyi-at al-lail adalah bangkit di waktu
malam setelah tidur.Dia berkata, “Siapa yang shalat sebelum tidur, maka ia
belum melaksanakan pesan ayat ini.”
Sehingga lahirlah sebuah
pendapat moderat yang menebutkan bahwa sungguh tidak keliru mereka yang
melaksanakan shalat lail sebelum
tidur. Al-Maraghi dalam tafsirnya mengutip ucapan Ibn ‘Abbas r.a, “Siapa yang
shalat dua rakaat atau lebih setelah isya, maka ia elah dinilai berada diwaktu
malam dalam keadaan sujud dan berdiri di hadapan Allah Swt.”
Namun demikian, tentunya
shalat setelah tidur, atau pada saat malam telah hening dan manusia pada
umumnya nyenyak dalam tidurnya adalah lebih baik, karena suasana semacam itulah yang mengantar kepada apa yang
dinyatakan oleh lanjutan ayat dalam surah Al-Muzzammil, “Adalah lebih tepat
(untuk khusyuk) dan bacaan diwaktu itu lebih berkesan.”
Referensi : M.Abd.Syukur, M.Muslih Aziz, M.Syamsul Yakin (2007), 7 Sunnah Harian Nabi Saw. Menjadikan Hidup Lebih Bermakna dengan Amalan Sederhana, PT Mizan Publika, Jakarta Selatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar